ILMU JARH WA AL-TA’DĪL
Oleh: Ai Siti Nurmiati
1. Pengertian Jarh wa Al-Ta’dīl
Secara etimologis, al-Jarh , merupakan bentuk mashdar, dari kata جرح يجرحهyang berarti “melukai”.Keadaan luka dalam hal ini dapat berkaitan dengan fisik, misalnya luka terkena senjata tajam, ataupun berkaitan dengan non-fisik, misalnya luka hati karena kata-kata kasar yang dilontarkan oleh seseorang.Apabila kata Jaraha dipakai oleh hakim pengadilan yang ditujukan kepada masalah kesaksian, maka kata tersebut mempunyai arti “menggugurkan keabsahan saksi”. Menurut istilah ilmu Hadits, kata al-Jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya. Kata al-Tajrīh menurut istilah berarti pengungkapan keadaan periwayat tentang sifat-sifatnya yang tercela yang menyebabkan lemahnya atau tertolaknya riwayat yang disampaikan oleh periwayat tersebut. Sebagian ulama menyamakan penggunaan kata al-Jarhdan al-Tajrīh, dan sebagian yang lain membedakan penggunaan kedua kata itu. Mereka yang membedakan beralasan bahwa kata al-Jarhberkonotasi tidak mencari-cari ketercelaan seseorang, ketercelaan tersebut memang telah nampak pada seseorang, sedangkan al-Tajrīhberkonotasi ada upaya aktif untuk mencari dan mengungkap sifat-sifat tercela seseorang. Perbuatan Tajrīh termasuk mengumpat yang diperbolehkan oleh agama, sebab untuk keperluan agama dan tidak melampaui batas kemanusiaan.
Tajrih rawi berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
a. Bid’ah, yaitu mempunyai i’tikad berlawanan dengan dasar Syari’at. Orang tersebut digolongkan kafir, seperti golongan Rafidhah yang mempercayai bahwa Tuhan menyatu dengan ‘Ali dan imam-imam lain, dan mempercayai bahwa ‘Ali akan kembali ke dunia sebelum kiamat.
b. Mukhalafah, yaitu perlawanan sifat ‘adil dan dhabith seorang rawi dengan rawi yang lain yang lebih kuat yang tidak dapat dijama’kan atau dikompromikan.
c. Ghalath, yaitu kesalahan, seperti lemah hafalan atau salah sangka, baik sedikit maupun banyak kesalahan yang dilakukan.
d. Jahalah al-Hal, yaitu tidak diketahui identitasnya
e. Da’wa al-Inqitha’, yaitu mendakwa terputusnya sanad.
Adapun kata al-Ta’dīl, adalah mashdar dari kata kerja ‘addala, artinya mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki oleh seseorang.Menurut istilah ilmu Haditsadalah mengungkap sifat-sifat bersih yang ada pada diri periwayat, sehingga dengan demikian tampak jelas keadilan pribadi periwayat itu dan karenanya riwayat yang disampaikannya dapat diterima.
Dengan demikian, ‘Ilmu Jarh wa Al-Ta’dīl adalah:
العلم الّذى يبحث في أحوال الرّواة من حيث قبول رواياتهم أوردّها
Ilmu yang membahas hal-ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka.
Kaidah tajrīhdan ta’dīl ada dua macam:
a. Naqd Khariji, yaitu kritik eksternal, yakni tentang cara dan sahnya riwayat dan tentang kapasitas rawi.
b. Naqd Dakhili, kritik internal, yaitu tentang makna Hadits dan syarat keshahihannya.
Syarat pentajrih dan penta’dil adalah:
1) Berilmu
2) Taqwa
3) Wara’
4) Jujur
5) Menjauhi fanatik golongan
6) Mengetahui sebab-sebab ta’dīl dan tajrīh (mufassar)
2. Pertumbuhan ‘Ilmu Jarh wa Al-Ta’dīl
‘Ilmu Jarhwa Al-Ta’dīl tumbuh bersama tumbuhnya periwayatan dalam Islam. Karena untuk mengetahui khabar-khabar yang shahih diperlukan pengetahuan tentang para perawinya, yakni pengetahuan yang memungkinkan ahli ilmu menilai kejujurannya ataupun kedustaannya, sehingga mereka bisa membedakan antara yang bisa diterima dari yang ditolak.
Para periwayat Hadits mulai dari generasi shahabat Nabi SAW sampai generasi mukharij al-Hadīts (periwayat dan sekaligus menghimpun Hadits) telah tidak dapat dijumpai secara fisik karena mereka telah meninggal dunia.Untuk mengenali keadaan pribadi mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka di bidang periwayatan Hadits, diperlukan informasi dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik para periwayat Hadits.
Kritik terhadap para periwayat Hadits yang telah dikemukakan oleh ulama ahli kritik Hadits itu tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang terpuji saja, tetapi juga berkenaan dengan hal-hal yang tercela.Hal-hal yang tercela dikemukakan bukanlah untuk menjelek-jelekan mereka melainkan untuk dijadikan pertimbangan dalam hubungannya dengan dapat diterima atau tidak dapat diterima riwayat Hadits yang mereka sampaikan. Ulama ahli kritik Hadits tetap menyadari bahwa mengemukakan kejelekan seseorang dilarang oleh agama, tetapi untuk kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan penelitian Hadits dalam hubungannya sebagai salah satu sumber ajaran Islam, maka kejelekan atau kekurangan pribadi periwayat dalam kaitannya dengan periwayatan Hadits sangat perlu dikemukakan. Kejelekan atau kekurangan yang dikemukakan hanyalah terbatas yang ada hubungannya dengan kepentingan penelitian periwayatan Hadits.
Oleh karena itu, mereka selalu bertanya tentang keadaan para perawi dan melakukan penelitian di sela-sela kehidupan intelektual mereka, dan mengenal lebih dekat semua hal-hal para perawi.Mereka melakukan penelitian yang amat cermat, sehingga mereka bisa mengetahui yang paling hafizh, yang paling kuat ingatannya dan yang paling lama bermujalasah dengan guru-gurunya.
3. Pertentangan antara Jarh wa Al-Ta’dīl
Penyebab dan dorongan untuk mengeritik perawi berbeda-beda berdasarkan perbedaan pandangan para ulama yang mengeritik. Kadang-kadang pernyataan-pernyataan ulama tentang tajrīh dan ta’dīl terhadap orang yang sama bisa saling bertentangan. Sebagian mentajrīhkannya, sedang sebagian lain menta’dīlkannya.
Di antara ulama ada yang betul-betul ketat (mutasyaddid) menilai seorang perawi. Penilaian ketat kepada seorang perawi itu sangat diharuskan karena masalah Jarhwa al-Ta’dīl sangat penting dan berkaitan dengan sumber agama kedua. Sebagian ulama ada yang bersikap tengah-tengah dan sebagian lagi ada yang bersikap longgar (mutasahil).
Kritik ada yang mutlak dan ada yang musabbab (menyebutkan faktor penyebabnya).Pertama, Kritik Mutlak adalah bila seorang kritikus melontarkan Jarhwa al-Ta’dīl (celaan dan pujian) tanpa menyebutkan faktor penyebab atau faktor pertimbangannya. Kritik semacam ini dinamakan al-Jarh al-Mubham (Jarhsamar) atau al-Ta’dīlal-Mubham (Ta’dīl samar); Kedua, Kritik Musabbab adalah bila seorang kritikus melontarkan Jarh wa al-Ta’dīl dengan menyebutkan faktor-faktor penyebab yang dijadikan dasar pertimbangannya. Kritik semacam ini dinamakan al-Jarh al-Mufassar (Jarh yang dijelaskan) atau al-Ta’dīlal-Mufassar (Ta’dīl yang dijelaskan).Para ulama telah sepakat menerima kritik yang dijelaskan (mufassar) jika faktor penyebabnya itu kuat menurut ahli kritik.Jika faktor penyebabnya itu tidak kuat menurut ahli kritik, maka tidak diterima.Sedangkan kritik yang tidak djelaskan (kritik mubham) masih diperselisihkan oleh para ulama.
Para ulama berbeda pendapat dalam Tajrīh dan Ta’dīl yang tanpa menyebutkan sebab-sebab (mubham), yaitu:
a) Ta’dīl mubham dapat diterima sedangkan Tajrīh mubham tidak dapat diterima.
b) Ta’dīl harus mufassar, Tajrīh tidak perlu.
c) Tajrīhdan Ta’dīl harus mufassar
d) Tajrīhdan Ta’dīl tidak perlu mufassar, selagi orang yang menetapkannya memenuhi syarat-syarat.
Jumlah pentajrih dan penta’dil dalam periwayatan Hadits harus terdiri dari dua orang menurut ulama Madinah, namun menurut pendapat sebagian ulama cukup seorang saja.
Apabila terdapat pertentangan atau ta’ārudh antara Jarh wa al-Ta’dīl pada seorang rawi, yakni sebagian ulama menta’dilkan dan sebagian ulama yang lain mentajrihkan, terdapat beberapa pendapat:
(1) Jarhdidahulukan secara mutlak walaupun mu’addilnya lebih banyak daripada Jārihnya. Sebab bagi Jārihmempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu’addil tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja.
(2) Ta’dīl didahulukan daripada Jarh, karena Jārihdalam mengaibkan rawi kurang tepat dalam hal sebab pencacatannya apalagi kalau dipengaruhi rasa benci. Sedang mu’addil tidak serampangan menta’dilkan seseorang.
(3) Ta’dīl didahulukan bila jumlah mu’addil lebih banyak daripada Jārihnya, lebih banyak dipandang lebih kuat.
(4) Tetap dalam ta’ārudh bila tidak ditemukan yang merajihkan.
Dari tajrīhatau ta’dīl yang menghasilkan jārihnya seorang rawi, sebaiknya masih harus diteliti berulang-ulang, agar tidak menimbulkan kegoncangan, sebab mungkin saja ada kelemahan dalam kondisi jārihatau sebab jarhnya, atau tajrīhnya terlalu keras (tasyaddud).
4. Tingkatan-tingkatan Jarh wa Al-Ta’dīl
Keadaan para perawi itu berbeda-beda nilainya dari sudut pandang ilmu Hadits.Di antaranya, ada yang adil sehingga diterima periwayatannya dan ada pula yang majhūl (tidak diketahui identitasnya) maka ditolak Haditsnya sehingga mereka diketahui identitasnya.Bagi yang adil, dibedakan tingkat keadilannya, begitu pula yang tidak adil juga dibedakan tingkat ketidakadilannya berdasarkan tingkat kejarhannya. Tingkatan Jarhwa al-Ta’dīl satu sama lainnya berbeda. Tingkatan nilai ta’dīl disusun dengan susunan urutan ke bawah, sedangkan tingkatan nilai jarh disusun dengan susunan urutan ke atas.
Abū Muhammad Abdurrahmān bin Abū Hātim al-Rāzī dalam mukadimah kitab Jarhwa al-Ta’dīl telah membagi lafal Jarh wa al-Ta’dīl menjadi empat tingkatan dan menjelaskan nilainya. Al-Dzahabī dan al-‘Iraqī menambah satu tingkatan ta’dīl yang lebih tinggi daripada tingkatan pertama menurut al-Rāzī (Ibnu Abi Hātim), yaitu penilaian tsiqah yang diulang-ulang, seperti tsiqatun-tsiqatun atau tsiqatun hujjatun.Pada akhirnya al-Hāfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalānī menambah satu tingkatan yang lebih tinggi daripada tingkatan Al-Dzahabī dan al-‘Iraqī, yaitu shīghat tafdhīl, seperti autsaq al-nās atau atsbat al-nās.Sehingga tingkatan ta’dīl akhirnya menjadi enam.Begitu juga terhadap lafal jarhtingkatannya menjadi enam pula.
a. Tingkatan-tingkatan Lafal Ta’dīl
Tingkatan-tingkatan tersebut adalah:
1) Lafāzh berwazan أفعال التفضيل
أوثق النّاس, أثبت النّاس حفظا وعدالة, إليه المنتهى فى الثّبت, ثقة فوق الثّقة
2) Lafāzh yang diulang atau kata majmu’ setara:
ثبت ثبت, ثقة ثقة, حجّة حجّة, ثبت ثقة, حافظ حجّة, ضابط متقن
3) Lafāzh mufrad yang bermakna dhābith:
ثبت, متقن, ثقة, حافظ, حجّة
4) Lafāzh yang tidak menunjukan adanya kedhābithan, hingga perlu di uji dan diselidiki Haditsnya:
صدوق, مأمون, لابأس به
5) Lafāzh yang tidak menunjukan kesangatan (mubalaghah)
محلّة الصّدق, جيّد الحديث, حسن الحديث, مقارب الحديث
6) Lafāzh
صدوق إنشاء الله, فلان أرجو بأن لابأس به, فلان صويلح, فلان مقبول حديثه
b. Tingkatan-tingkatan Lafal Jarh
1) Lafāzh berwazan: af’āl al-tafdhīl dari lafāzh kadziba, atau wadha’a atau dibubuhi lafāzh muntaha:
أوضع النّاس, أكذب النّاس, إليه المنتهى فى الوضع
2) Shīghat mubalaghah dari lafāzh di atas:
كذّاب, وضّاع, دجاّل
3) Lafāzh-lafāzh tuduhan bersifat dusta atau lafāzh yang lebih ringan:
فلان متهم بالكذب, أو متهم بالوضع, فلان ساقط, فلان فيه النّظر, فلان ذاهب الحديث, فلان متروك الحديث
4) Lafāzh tuduhan tercacat:
مطرح الحديث, فلان ضعيف, فلان مردود الحديث
5) Lafāzh yang mengandung arti tidak dapat dipakai berhujjah yang semakna dengan lafāzh tersebut:
فلان لايحتجّ به, فلان مجهول, فلان منكر الحديث, فلان مضطرب الحديث, فلان واه
6) Lafāzh yang menunjukan penilaian lemah (talyin) merupakan tingkatan jarhyang paling ringan di antara beberapa tingkatan jarh:
ضعّف حديثه, فلان مقال فيه, فلان فيه خلف, فلان ليّن, فلان ليس بالحجة, فلان ليس بالقوي